Minggu, 27 Januari 2019

Kajian Ahad Muhammadiyah Banyumanik

KAJIAN AHAD MUHAMMADIYAH BANYUMANIK

MEMBACA AYAT KAUNIYAH

Tanggal : 21 Jumadil Awal 1440 H/ 27 Januari 2019

Nara Sumber : Ir. H. Didik Udiono


Sejak awal KH Ahmad Dahlan mengajak kita untuk tidak menutup mata dengan kenyataan. Pada saat itu memang pada umumnya orang mengaji dengan "memakai kaca mata kuda", apa yang dipelajari adalah yang dibaca dalam kitab saja,  apakah nanti aplikatif terhadap situasi dan kondisi pada saat itu, tidak dihiraukan.

Problem yang ada di masyarakat : apa dan bagaimana tak pernah dikaji,  yang penting mengaji kitab.
Maka ketika KH Ahmad Dahlan mengaji Surat Al Ma'un dan memintanya untuk mengaplikasikannya menjadi babak baru perkembangan Islam di Tanah Air.

Pada hakekatnya semangat Al Ma'un ini tidak akan pernah usang. Bukan tentang suratnya tapi semangatnya. Intinya bagaimana agar kita menjadi lebih peduli dalam memahami persoalan yang berkembang dalam masyarakat. Kita masih ingat mengapa sampai ada atlit Yudo sampai diskwalifikasi hanya gara-gara tak mau melepas jilbab?  Itu salah satu contoh.

Masih hal-hal yang sederhana, Sudah biasa diantara kita setelah selesai shalat berdzikir dengan keras "Laa ilaha ilallah".
Kalau kita pandang dari theori makrifatullah sebagai buah dari ilmu, ketika imam yang memimpin mengawali dzikir ini dengan kalimat :
_fa'lam annahuu laaa ilaaha illallohu_  ada pemahaman yang tidak benar terhadap maksud ayat tadi.

Kalimat tadi diambil dari ayat 19 Surat Muhammad dimana Allah SWT berfirman:

فَاعْلَمْ اَنَّهٗ لَاۤ اِلٰهَ اِلَّا اللّٰهُ

"Maka ketahuilah, bahwa tidak ada Tuhan yang patut disembah selain Allah,..." (QS. Muhammad 19)

Imam Bukhari mengatakan

العِلمُ قَبلَ القَولِ وَالعَمَلِ

Ilmu itu sebelum ucapan dan amalan.
Bahwa ayat ini harus diilmui, bermakna agar semua ucapan dan amalan dicari dasar ilmunya. Tidak sekedar dihapal dan dibunyikan.
Artinya bukan perintah untuk mengucapkan Laa ilaha ilallah.

Ada yang lebih tepat mengawalinya dengan kalimat :
_Jaddidu imanakum bil qaul laa ilaha ilallah_
Dasarnya perintah hadits untuk memperbanyak ucapan Kalimat Tauhid. Rasulullah SAW bersabda :

“جَدِّدُوا إِيمَانَكُمْ “، قِيلَ: يَا رَسُولَ اللهِ، وَكَيْفَ نُجَدِّدُ إِيمَانَنَا؟ قَالَ: ” أَكْثِرُوا مِنْ قَوْلِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ “

“Perbarui iman kalian”
“Ya Rasulullah, bagaimana cara kami memperbarui iman kami?” tanya para sahabat. Beliau bersabda, “Perbanyaklah mengucapkan ‘Laa ilaaha illallaah’.”

KH Ahmad Dahlan mengajarkan kepada kita untuk tidak menutup mata terhadap persoalan-persoalan yang ada di masyarakat yang harus kita tanggapi. Inipun sebenarnya adalah perintah Allah.

وَقُلِ الْحَمْدُ لِلّٰهِ سَيُرِيْكُمْ اٰيٰتِهٖ فَتَعْرِفُوْنَهَا ۗ وَمَا رَبُّكَ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُوْنَ٪

"Dan katakanlah Muhammad, Segala puji bagi Allah, Dia akan memperlihatkan kepadamu tanda-tanda kebesaran-Nya, maka kamu akan mengetahuinya. Dan Tuhanmu tidak lengah terhadap apa yang kamu kerjakan." (QS. An-Naml  93)

Allah memperlihatkan ayat-ayatNya, baik itu Ayat Qauliyah (Al Qur'an)  maupun Ayat Kauniyah (Kenyataan yang ada). Saat ini Ayat Qauliyah sudah lengkap. Kalau ada yang mengatakan belum lengkap hanyalah kaum Syi'ah. Kita sebagai Umat Ahlus Sunnah meyakini Al Qur'an sudah lengkap,  maka yang masih akan diperlihatkan Allah adalah Ayat Kauniyah.
Demikian yang diajarkan KH Ahmad Dahlan,  bahwa kita harus peka pada Ayat-ayat Kauniyah ini.

Masalahnya ada pada akhir ayat 93 surat An Naml di atas bahwa Allah akan menilai bagaimana respond kita terhadap Ayat Kauniyah tadi.
Ini penting agar kita tidak pasif. Kita diperintahkan belajar kemana saja tidak dibatasi, karena pedomannya sudah jelas dari Rasulullah SAW. Jika meninggalkan pedoman ini pasti akan tersesat.

Maka kita berpedoman
_undzur maa qoola walaa tandzur man qoola_ “Lihat apa yang disampaikan namun jangan lihat siapa yang menyampaikan.”
Maka belajarlah kemana saja.

Nabi Muhammad SAW bersabda,

تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا : كِتَابَ اللهِ وَ سُنَّةَ رَسُوْلِهِ

Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya, yaitu Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. (H.R. Malik; al-Hakim, al-Baihaqi).

Pedomannya Al Qur'an dan Sunnah.
Penyebutannya tak boleh dibalik Sunnah dan Al Qur'an, karena sabda Rasulullah itu selalu bermakna. Urutannya ada maksudnya. Karena faktanya yang namanya Sunnah itu baru ditulis ratusan tahun setelah Rasulullah wafat. Maka dalam masalah Sunnah itu tidak mudah,  karena jaminan Allah tidak jelas. Yang dijamin Allah hanyalah Al Qur'an.

اِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَاِنَّا لَهٗ لَحٰـفِظُوْنَ

"Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur'an, dan pasti Kami pula yang memeliharanya."
(QS. Al-Hijr 9)

Maka ketika ada keliru sedikit saja dalam Al Qur'an, pasti segera diketahui. Ada yang ingin merekayasa terjemahnya untuk mendukung kepentingannya,  pasti segera diketahui.
Beda dengan Sunnah. Yang datang kepada kita adalah berita tentang Sunnah. Penulisnya sendiri tidak melihat Sunnah ,  yang melihat Sunnah adalah Para Sahabat.

Sekarang ini ada yang keliru, mereka tidak menghiraukan Al Qur'an karena merasa sudah mengikuti Sunnah. Padahal yang dijamin Allah adalah Al Qur'an, tak ada perdebatan tentang hal ini. Terhadap Sunnah masih banyak kilafiyah , saling klaim mana yang shahih dan mana yang bukan.

Dalam Surat Al A'raf. 3 , Allah SWT memerintahkan sesuatu dan sekaligus melarang sesuatu dalam satu statement sehingga jelas perbedaannya.

اِتَّبِعُوْا مَاۤ اُنْزِلَ اِلَيْكُمْ مِّنْ رَّبِّكُمْ وَلَا تَتَّبِعُوْا مِنْ دُوْنِهٖۤ اَوْلِيَآءَ ۗ قَلِيْلًا مَّا تَذَكَّرُوْنَ

"Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, dan janganlah kamu ikuti selain Dia sebagai pemimpin. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran."
(QS. Al-A'raf.  3)

Perintahnya : ittabi'uu (Ikutilah.!)
Ikuti apa yang diturunkan, yaitu Al Qur'an.

Larangannya : wa laa tattabi'uu (janganlah kamu ikuti! )
Siapa yang jangan diikuti?  Mereka adalah Pemimpin selain Dia yang sejalan dengan Al Qur'an.

Al Qur'an memerintahkan kita untuk mengikuti ajaran islam secara kaffah.

يٰۤاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا ادْخُلُوْا فِى السِّلْمِ کَاۤ فَّةً ۖ وَّلَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِ ۗ اِنَّهٗ لَـکُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ

"Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu." (QS. Al-Baqarah 208)

Islam mengatur kehidupan secara keseluruhan, baik itu sosial, ekonomi bahkan sampai ke wilayah politik.
Maka ketika ada Pemimpin mengatakan : " Jangan mencampur adukkan agama dengan Politik" , ini bertentangan dengan Al Qur'an.
Menurut Dr. Amin Rais pernyataan ini juga bertentangan dengan Pancasila.

Al Qur'an jelas mengatur tentang politik. Jika ada orang yang menutup mata tentang hal ini berarti dia meninggalkan Al Qur'an.
Buya Hamka sebagai Ketua MUI mengeluarkan fatwa haram bagi orang muslim untuk mengikuti kegiatan-kegiatan keagamaan non muslim. Larangan ini didasarkan sejarah pada jaman Nabi Muhammad SAW yang pernah diajak untuk kompromi oleh Kaum Kafir Mekkah.

Ketika dakwah Nabi Muhammad SAW dianggap mulai mengganggu kenyamanan Kaum Kafir Mekkah,  maka mereka menegosiasi Nabi Muhammad. Negosiasi tak berhasil,  mereka mengajukan Kompromi "win-win solution" dengan cara bergantian harus saling mengikuti ibadah. Periode ini semua mengikuti Nabi Muhammad,  periode berikutnya semua mengikuti Kaum Kafir Mekkah.

Sekarangpun ada pula gejala semacam,  dengan dalih toleransi mari kita gantian. Kalau Iedhul fitri semua merayakan hari Raya Muslim nanti kalau Hari Natal semuanya juga merayakan Natal.
Secara manusiawi cara ini win-win solution,  seolah-olah baik.  Mungkin menurut pertimbangan kita juga baik. Apalagi kita,  pada zaman dulu Nabi Muhammad sendiri sempat ragu-ragu,  tidak langsung menolak terhadap usulan Kompromi.

Pada saat Nabi ragu-ragu tadi turunlah ayat :

لَـكُمْ دِيْنُكُمْ وَلِيَ دِيْنِ٪

"Untukmu agamamu, dan untukku agamaku." (QS. Al-Kafirun 6)

Allah SWT melarang Nabi Muhammad SAW mengadakan kompromi dalam masalah ibadah agama.

Maka Buya Hamka telah melarang dengan tegas tentang mengikuti perayaan Natal. Bahkan kemudian Kiyai Makruf tahun 2016 juga mengeluarkan fatwa menindak lanjuti hal itu,  karena banyak Pengusaha Non Muslim memaksa karyawan Muslim mengenakan atribut Natal. Beliau mengeluarkan fatwa larangan memakai atribut Natal. Meskipun dua tahun kemudian beliau dengan enteng mengucapkan selamat Natal.

Kok bisa berubah dengan cepat?  Dunia ini berubah dengan cepat. Pada tahun 2018 ini ternyata bukit batu sekitar Mekkah sudah menjadi bukit yang hijau penuh rumput. Padahal dua tahun lalu yaitu tahun 2016 bukit tadi masih bukit batu. Ini juga Ayat Kauniyah bahwa mungkin kita sudah dekat dengan akhir Zaman.

Rasulullah SAW bersabda:

إِنَّ بَيْنَ يَدَيْ السَّاعَةِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ يُصْبِحُ الرَّجُلُ فِيهَا مُؤْمِنًا وَيُمْسِي كَافِرًا وَيُمْسِي مُؤْمِنًا وَيُصْبِحُ كَافِرًا

“Sesungguhnya, menjelang terjadinya Kiamat ada fitnah-fitnah seperti sepotong malam yang gelap gulita, pada pagi hari seseorang dalam keadaan beriman, tetapi pada sore hari ia menjadi kafir, sebaliknya pada sore hari seseorang dalam keadaan beriman, namun dipagi hari ia dalam keadaan kafir....”  [HR. Abu Dawud]

Hadits di atas menunjukkan bahwa iman manusia dapat berubah dalam waktu setengah hari saja. Apalagi waktu dua tahun,  bisa mengubah segalanya. Yang senior dalam bidang agama belum tentu lebih baik dibanding yang yunior di bidang agama.

Pelajaran bagi kita, jangan pernah merasa ujub,  jangan merasa bangga terhadap ilmu agama yang telah diberikan Allah kepada kita. Meskipun sudah banyak kitab kita baca,  mengaji juga sudah lama,  menjalani rukun islam juga sudah lama,  jangan bangga karena itu semua belum menjamin kita lolos dari ujian keimanan dari Allah.

Dalam satu hadits Rasulullah SAW bersabda :
".. Sungguh kitab (Al Quran)  dan Sulthan (Penguasa) , dalam waktu dekat saling menjauhi" .

Di Jaman Rasul sebagai Pemimpin Madinah , kedua Poros itu menyatu,  karena seperti kata Aisiyah bahwa akhlak Rasulullah itu adalah Al Qur'an. Maka tak ada masalah , Al Qur'an dan Pemimpin berimpit.
Saat ini sudah ratusan tahun setelah Rasul wafat,  kedua poros tadi Al Qur'an dan Penguasa saling menjauh. Maka kita ikuti pesan Al Qur'an yaitu agar kita mengikut Kitab dan jangan mengikut Pemimpin yang meninggalkan Kitab.
Mengambil jarak dengan pemimpin dibolehkan ketika Pemimpin tidak sejalan dengan Al Qur'an, tetapi bila Pemimpin sejalan dengan Al Qur'an, maka wajib bagi muslim untuk mendengar dan Taat.

Rasulullah SAW bersabda :

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا اللَّهَ وَإِنْ أُمِّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ مُجَدَّعٌ فَاسْمَعُوا لَهُ وَأَطِيعُوا مَا أَقَامَ لَكُمْ كِتَابَ اللَّهِ

“Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Allah meskipun kalian dipimpin oleh hamba sahaya dari habasyi, dengar dan taatilah dia selama memimpin kalian dengan kitabullah.” (HR. Tirmidzi)

Maka bila yang menjadi persyaratan tidak dipenuhi kita diperintahkan untuk menjauhi Pemimpin dan mendekati Al Qur'an. Namun ini tidak mudah, banyak orang yang memilih mendekati Pemimpin dan menjauhi Al Qur'an. Hal ini karena janji Al Qur'an bersifat abstrak, sedangkan janji Pemimpin bersifat Riil,  walaupun bisa juga janji diingkari.

Dengan banyaknya umat yang meninggalkan Al Qur'an ini sampai Nabi Muhammad mengadu kepada Allah SWT.

وَقَالَ الرَّسُوْلُ يٰرَبِّ اِنَّ قَوْمِى اتَّخَذُوْا هٰذَا الْقُرْاٰنَ مَهْجُوْرًا

"Dan rasul Muhammad berkata, Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku telah menjadikan Al-Qur'an ini diabaikan." (QS. Al-Furqan 30)

Kita kembalikan pada diri kita sendiri.  Kita semua adalah Pemimpin dan masing-masing akan diminta pertanggung jawaban sebagai Pemimpin.
Kepemimpinan Rumah Tangga baru eksis setelah anggota rumah tangga mengakui sebagai pemimpin. Anggota rumah tangga wajib  "Mendengar dan Taat" kepada Pemimpin,  dalam hal rumah tangga maka semua anak harus mendengar dan taat kepada Orang Tua,  sepanjang Orang Tua nya menegakkan Al Qur'an.

Mudah-mudahan kita semua bisa menegakkan Al Qur'an sehingga kita jadi Pemimpin yang baik,  didengar dan ditaati.


*TANYA JAWAB*

Pertanyaan :
Bagaimana dengan yang berdo'a dengan suara keras,  karena kita yang masih shalat kan juga terganggu.
Ada juga makmum yang membaca surat dengan keras sehingga kita terganggu,  ini bagaimana?

Jawaban :

Pertanyaan ini mengenai fiqih dan tentu ada potensi iktilaf (beda pendapat).

Ketika kita berdo'a itu sudah ada pedomannya :

اُدْعُوْا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَّخُفْيَةً ۗ اِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِيْنَ ۚ 

"Berdoalah kepada Tuhanmu dengan rendah hati dan suara yang lembut. Sungguh, Dia tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas."
(QS. Al-A'raf 55)

Berdo'a itu harus dengan sangat mengharapkan terkabul. Tidak dapat memaksa Allah. Namun ini tidak berarti harus suara keras.
Allah itu Maha Mendengar, dengan berbisik saja Allah Mendengar.
Dalam ayat di atas jelas,  suaranya harus lembut.

Adapun membaca Al Fatihah pada saat jadi makmum ada yang berpendapat makmum membaca Al Fatihah ada yang berpendapat cukup mendengar imam ketika imam membaca Jahr. Intinya makmum yang membaca Al Fatihah jangan sampai mengganggu,  cukup dirinya sendiri yang dengar.

Membaca Al Fatihah yang merupakan rukun saja kita tak boleh mengganggu,  apalagi berdo'a , akan lebih baik pelan. Kita tahu banyak imam setelah selesai shalat langsung mimpin do'a dengan keras,  padahal mungkin masih ada jama'ah yang masbuk.

Namun ini iktilaf,  jangan sampai berpecah belah.

Semoga bermanfaat
Barokallohu fikum

SAK

Tidak ada komentar:

Posting Komentar