Jumat, 08 Juni 2018

Kajian Ramadhan PCM Banyumanik

Kajian Ramadhan PCM Banyumanik

MEMAHAMI I'TIKAF

Tanggal : 23 Ramadhan 1439 H / 8 Juni 2018

Nara Sumber : Ustadz Ir. H. Didik Udiyono

اِتَّبِعُوْا مَاۤ اُنْزِلَ اِلَيْكُمْ مِّنْ رَّبِّكُمْ وَلَا تَتَّبِعُوْا مِنْ دُوْنِهٖۤ اَوْلِيَآءَ   ۗ  قَلِيْلًا مَّا تَذَكَّرُوْنَ

"Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, dan janganlah kamu ikuti selain Dia sebagai pemimpin. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran."
(QS. Al-A'raf 3)

Kita diperintahkan untuk mengikuti Al Qur'an dan jangan mengikuti petunjuk selain Al Qur'an. Untuk diketahui bahwa orang berilmupun bisa bersikap menjauhi Al Qur'an bila menghadapi dilemma pilihan yang berat, pilihan antara duniawi atau ukhrowi.

Bulan Ramadhan adalah bulan diturunkan Al Qur'an dan diperintahkan Puasa. Jadi Puasa sebagai konsekwensi diturunkannya Al Qur'an yang merupakan petunjuk bagi manusia.
Pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan ini adalah khas karena ada contoh dari Rasulullah , yaitu i'tikaf.  Tak ada Sunah qauliyah yang menyatakan perlunya I'tikaf, tetapi banyak sekali Sunah Fikliyah yang menyaksikan bahwa Rasulullah melakukan I'tikaf di 10 hari terakhir.

Sunah itu ada dua,  sunah yang difardhukan dan sunah yang tidak difardhukan. Sunah yang difardhukan itu asal usulnya dari Kitabullah. Persoalan I'tikaf itu asal-usulnya memang disinggung dalam Al Qur'an. (QS Al Baqarah 187), jadi termasuk sunah yang difardhukan. Sunah yang difardhukan untuk melaksanakannya harus sesuai dengan contoh atau petunjuk. Jika kita meninggalkan atau menolak sunah atau menganggap tidak penting maka akan termasuk sesat.

Beda dengan sunah yang tidak difardhukan, tak ada asal-usul dari Al Qur'an. Melaksanakannya mendapat keutamaan, dan bila tak melaksanakannya tidak dianggap keliru. Contohnya : Lelaki memelihara jenggot. Ini dianggap sunah karena ada perintah sunah qauliyah. Jadi tokoh yang menyatakan bahwa jenggot itu tanda orang goblok adalah perbuatan melampaui batas.

Kembali ke masalah i'tikaf, kita tidak menjumpai kisah para sahabat wanita beramai -ramai i'tikaf di masjid. Isteri Rasulullah ketika mencoba ramai-ramai I'tikaf bersama Rasulullah ternyata dicegah. Namun setelah Rasulullah wafat mereka mengikuti I'tikaf.

Bahwa keadaan 10 hari terakhir Ramadhan ini berbeda dengan hari-hari sebelumnya, jelas dinyatakan oleh Aisiyah ra :

َوَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: ( كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا دَخَلَ اَلْعَشْرُ -أَيْ: اَلْعَشْرُ اَلْأَخِيرُ مِنْ رَمَضَانَ- شَدَّ مِئْزَرَهُ, وَأَحْيَا لَيْلَهُ, وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ )  مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

‘Aisyah ra berkata: Rasulullah SAW bila memasuki sepuluh hari — yakni sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan– mengencangkan kain sarungnya, menghidupkan malamnya, dan membangunkan keluarganya. (Muttafaq Alaihi.)

Mengencangkan sarungnya bermakna menjauhi isterinya selama 10 hari terakhir. Dalam hadits lain dinyatakan bahwa beliau sangat serius beribadah.

Aisyah radhiyallahu ‘anha– berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَجْتَهِدُ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مَا لاَ يَجْتَهِدُ فِى غَيْرِهِ.

“Rasulullah SAW sangat bersungguh-sungguh pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan, melebihi kesungguhan beliau di waktu yang lainnya.” (HR. Muslim)

Maka meskipun tak ada contoh jelas tentang kewajiban wanita beri'tikaf di masjid , namun kita dapat mengikuti semangat bersungguh-sungguh (يَجْتَهِدُ).
Kesungguhan tentang apa?
Ketika Rasulullah bersungguh-sungguh berdiam diri adalah kesungguhan untuk keluar dari spesifikasi asli manusia, yaitu " ifthar" ,membuka diri,  dia ingin apa maka dia lakukan. Maka memasuki 10 hari terakhir adalah "imsak" , menahan diri dari apa yang diinginkan.

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللّٰهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَانَ يَرْجُوا اللّٰهَ وَالْيَوْمَ الْاٰخِرَ وَذَكَرَ اللّٰهَ كَثِيْرًا  

"Sungguh, telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu yaitu bagi orang yang mengharap rahmat Allah dan kedatangan hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah." (QS. Al-Ahzab  21)

Semangat untuk menahan diri dari keinginan ini yang harus diteladani oleh semua. Karena sesuai perintah Al Qur'an kita harus meneladani Rasulullah.
Dengan menahan diri maka I'tikaf di masjid bukanlah sekedar pindah tidur.

Ada dua tempat di dunia ini yang akan dapat membantu kita untuk menahan diri dan membawa pikiran kita ke alam ukhrowi meninggalkan suasana duniawi, yaitu Kuburan dan Masjid. Namun Rasulullah jelas memilih tempat i'tikaf di masjid. Ini adalah upaya untuk memutus diri dengan dunia.

Maka ketika kita tidak berada di masjid, atau wanita dan ibu-ibu yang tidak dapat melaksanakan I'tikaf di masjid namun pada 10 hari akhir Ramadhan ini dimanapun berada hendaknya menjauhi,  mengambil jarak dengan dunia.Dimanapun berada kita dalam keadaan "imsak" , suasananya lebih mendekati suasana akhirat. Kita mencoba menghayati makna akhirat yang lebih baik dari dunia.

وَلَـلْاٰخِرَةُ خَيْرٌ لَّكَ مِنَ الْاُوْلٰى

"dan sungguh, yang kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang permulaan."
(QS. Ad-Duha 4)

وَابْتَغِ فِيْمَاۤ اٰتٰٮكَ اللّٰهُ الدَّارَ الْاٰخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيْبَكَ مِنَ الدُّنْيَا

"Dan carilah pahala negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia...." (QS. Al-Qasas 77)

Targetnya jelas negeri akhirat, tapi dunia tidak dilupakan. Meskipun dunia ini menyenangkan tetapi digambarkan penuh tipu dan kita dilarang mencaci dunia.
“Dunia adalah sebaik-baik kendaraan, bagi orang beriman ” demikian Rasulullah SAW mengajarkan kita mengenai dunia.
Hadits ini menjelaskan bahwa dunia adalah semata-mata alat untuk mencapai tujuan. Hati-hati banyak jebakan-jebakan dunia, maka kita ambil yang kita butuhkan saja. Jika melampauinya akan dinilai berlebihan.

Maka dalam 354 hari (kalender hijriyah)  kita harus mengambil jarak terhadap dunia selama 10 hari ini.
Jadi aneh,  disini ketika 10 hari terakhir justru agak berkurang ibadahnya.
Mestinya seperti Rasulullah,  beliau mulai masuk i'tikaf bakda subuh tanggal 21 dan tak pernah keluar selama 10 hari.
I'tikaf itu pada prinsipnya adalah belajar untuk menjadi zuhud, bukan mengucilkan diri tetapi memahami bahwa akhirat itu lebih penting dari duniawi.

عَنْ اَبِى مُوْسَى َاْلاَشْعَرِيِّ رض اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص قَالَ: مَنْ اَحَبَّ دُنْيَاهُ اَضَرَّ بِآخِرَتِهِ، وَ مَنْ اَحَبَّ آخِرَتَهُ اَضَرَّ بِدُنْيَاهُ، فَآثِرُوْا مَا يَبْقَى عَلَى مَا يَفْنَى. احمد و رواته ثقات و البزار و ابن حبان فى صحيحه و الحاكم و البيهقى

Dari Abu Musa Al-Asy’ariy RA bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang mencintai dunianya, maka dia akan mengorbankan akhiratnya, dan barangsiapa yang mencintai akhiratnya, dia akan mengorbankan dunianya. Maka pilihlah yang kekal dari pada yang akan musnah”. [HR. Ahmad]

Maka kita faham bahwa Allah menciptakan dunia untuk menguji siapa yang lebih bagus amalannya. Bukan siapa yang lebih banyak amalan, tetapi siapa yang lebih bagus amalan.

الَّذِيْ خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيٰوةَ لِيَبْلُوَكُمْ اَيُّكُمْ اَحْسَنُ  عَمَلًا   ۗ  وَهُوَ الْعَزِيْزُ الْغَفُوْرُ

"yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa, Maha Pengampun,"
(QS. Al-Mulk 67: Ayat 2)

Dan bagaimana amalan yang bagus?
Kriterianya disebutkan oleh Allah SWT:

اَمْ حَسِبْتُمْ اَنْ تُتْرَكُوْا وَلَـمَّا يَعْلَمِ اللّٰهُ الَّذِيْنَ جَاهَدُوْا مِنْكُمْ وَلَمْ يَتَّخِذُوْا مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ وَلَا رَسُوْلِهٖ وَلَا الْمُؤْمِنِيْنَ وَلِيْجَةً   ۗ  وَاللّٰهُ خَبِيْرٌۢ بِمَا تَعْمَلُوْنَ

"Apakah kamu mengira bahwa kamu akan dibiarkan begitu saja, padahal Allah belum mengetahui orang-orang yang berjihad di antara kamu dan tidak mengambil teman yang setia selain Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman. Allah Maha Mengetahui terhadap apa yang kamu kerjakan."
(QS. At-Taubah 16)

Kriterianya ada dua :
1. Amal apapun mesti bernilai Loyalitas kepada Allah, Rasul dan Kaum mukminin.
2. ‎Sikap juang membela agama Allah.

Tak ada kriteria duniawi dalam ayat diatas. Maka dunia yang dimiliki dibuktikan untuk membela agama Allah.
" Mukhlisina lahudien " tidak mengejar pahala,  tapi harus mengarah "ahsanu amalan."

Inilah makna yang harus ditangkap dalam rangka bersungguh-sungguh tadi.
I'tikaf harus menjadikan kita memasuki kualitas zuhud. Tidak sekedar memahami casingnya saja.

Semoga bermanfaat
Barokallohu fikum

🖍SAK

Tidak ada komentar:

Posting Komentar